Tidaklah banyak yang tahu bahwasanya istilah Hindu
awalnya adalah hanya istilah geografis yang diberikan oleh orang Persia untuk
menunjukkan orang-orang yang bermukim di sekitaran Sungai Shindu, bukan nama
sebuah agama, lalu istilah ini diadopsi
oleh penjajah barat, sampai akhirnya dipakai oleh masyarakat India sebagai nama
agama untuk menghadapi tantangan yang muncul dari Islam dan Kristen. Sejarah
yang sama juga terjadi dengan Agama Hindu di Indonesia, khususnya Bali. Pada
awalnya kemarin-kemarin hanya mengakui Agama Islam dan Kristen sebagai agama
resmi Indonesia, Kementerian Agama Republik Indonesia kala itu (KAGRI) menolak
memberikan pengakuan yang sama pada Agama di Bali, namun hanya masuk aliran
kepercayaan. Akhirnya, setelah melalui perjuangan panjang dari para tetua dulu
pada tahun 1950-an, dan bahkan jauh sebelumnya, agama di Bali diakui secara resmi di Indonesia
sebagai Agama Hindu. Namun untuk mendapatkan pengakuan ini, berbagai
penyesuaian dan transformasi kehidupan spiritual Bali perlu dilakukan agar
memenuhi kriteria agama sebagaimana ditetapkan berdasarkan standar Agama-agama
Samawi. Meski berusaha mengikuti persyaratan KAGRI dan melakukan berbagai
proses penyesuaian, namun para tetua terdahulu tetap ingin menjaga
karakteristik ke-Bali-annya dan menolak menyamakan Hindu Bali dengan Hindu
India. Sebelum diresmikan menjadi Agama Hindu, berbagai nama sempat muncul
dalam diskusi antara para Pandita dan para Raja, seperti: Agama Tirtha, Agama
Siwa, Agama Siwa-Buddha, Agama Hindu Bali, aneka ciri khas Bali itu ternyata
kini mampu membuat para kaum wisman juga wisnu memandang Bali dengan mata yang
tiada terkedip serta nggan berpaling. Maka jadilah Bali itu sebagai lautan
berlian kebudayaannya NKRI, contoh kongkrit ada prosesi ritual kematian di Bali
yang lasim orang bilang ngaben, ya ngaben !
Dalam
prosesi ngaben di tanah Bali itulah ada
rentetan acaranya yang disebut ngajum sekah. Ngajum berasal dari kata ”ajum” (bhs.Bali) yang berarti ”senang” atau ”bangga”. Dalam
mengikuti proses upacara keagamaan Hindu di Bali secara perlahan namun pasti,
kata ajum mendapat awalan ”ng” menjadi ”Ngajum”. Jadi Ngajum berarti ; ”memuji”
atau ”menyanjung”. Kebiasaan memuji atau menyanjung ini biasanya disampaikan
melalui kata-kata. Tetapi dalam konteks upacara Mamukur, maka kata ”mamuji”
dilakukan dengan cara mempercantik dan menghias Sekah atau Puspalingga. Sekah
merupakan simbolis ”linggih” Sang Pitara yang juga disebut ”Puspalingga”.
Puspalingga berasal dari kata ”puspa” dan ”lingga”. Puspa berarti ”bunga”,
yaitu sebuah benda yang ditempatkan dalam tempat yang terhormat dan mengandung
kesucian. Dan ”lingga” berarti ”linggih” atau ”tempat”. Jadi Puspalingga
berarti ; tempat untuk menempatkan sesuatu yang dihormati atau disucikan, yaitu
”sang Pitara”, atau sebagai ”simbol Sang Pitara”. Jadi arti kata Ngajum Sekah dalam
hal upacara Nyekah atau Mamukur adalah ; ”Mamuji sang Pitara dengan cara menghias
serta mempercantik benda yang dilambangkan sebagai sang Pitara (roh) yang akan
diupacarai agar bisa menjadi Dewa Pitara.
Dengan rangkaian ritual yang
berkelanjutan mulai dari atiwa-tiwa, memukur, meajar-ajar, serta upacara Dewa
Pitara Pratista.
Desa Belimbing. upacara ngaben di banjar dinas Durentaluh |
Sekilas yang dapat dibilang unik pada keyakinan para
penganut Hindu di tanah Bali, jika mereka telah meninggal dunia saat ritual
penguburan ataupun saat ritual ngaben ada yang dinamakan sekar ura Tahu sekar
ura ? Sekar ura ini adalah bentuk upakara yang
tediri dari ; beras kuning, pis bolong, daun temen dengan bunga rampainya. Ketika jenazah orang yang meninggal diusung ke kuburan, maka disepanjang perjalanan
menuju kuburan
(bhs. Balinya Setra/tunon),
ditaburkan Sekar Ura, yang bermakna sebagai bahasa perpisahan dalam
bentuk upakara. Dimana orang yang meninggal mengharapkan agar keluarga yang ditinggalkan tetap dapat hidup berkecekupan dan bahagia. Orang Hindu di Bali yang meninggal itu tidak semuanya
langsung di aben/ dikremasi secara Hindu, tapi banyak juga yang dikubur lebih dahulu
baru setelah tiba saatnya kelak akan di aben. Adapun tujuan ngaben (Sawa Wedana / Atiwa-tiwa)
sesuai keyakinan umat Hindu (baca Hindu Bali) ialah untuk melepaskan Sang Atma
dari ikatan Panca Mahabhuta (lima zat unsur ; tanah, api, air, udara serta
ether). Sedangkan tujuan dari pada upacara Mamukur (Nyekah/Atma Wedana), adalah
untuk mengantarkan sang Atma menuju alam kedewataan atau sidha dewata. Setelah
kedua rangkaian upacara ini, masih harus diselenggarakan rangkaian upacara
meajar-ajar (berziarah ke tempat-tempat suci), yang dilanjutkan lagi dengan upacara
Dewa Pitara Pratista, yakni upacara ngelinggihang Dewa Pitara di
Kemulan/sanggah Rong Telu. Kalau roh itu laki-laki, maka daksina pengadeg
(perwujudannya) akan di sthanakan di Kamulan kanan, jika roh itu perempuan,
maka akan dilinggihkan di kamulan sebelah kiri. Diyakini/diharapkan roh itu akan menyatu dengan Dewa Hyang-nya
dahulu ! Sang Dewa Pitara melayang menuju alam gaib,disana Sang Atma menyatu
dengan Dewa Hyang-nya dahulu. Maka setelah selesai Upacara Dewa Pitara
Pratistha itu, dan disembah oleh seluruh sanak keluarganya, menjadi sucilah roh
itu. Oleh karena itulah Sang Atma itu kemudian disebut ; Dewa Pitara, atau Dewa
Hyang Guru/ Bhatara Hyang Guru.
rangkaian upacara ngaben itu diantaranya ada meajar-ajar |
Masih tentang keunikan keyakinan umat Hindu Bali
bidang kematian seseorang dimana pada setiap orang yang meninggal itu, diyakini
ada yang telah pergi meninggalkan yang namanya badan kasar/jasad, yang telah
pergi itulah yang dinamakan roh/atma (bhs.Bali) Jika orang meninggal dunia dan
mayatnya sebatas baru ditanam/mependem, roh si mati disebut Preta atau Bhuta.
Adapun batasannya ; roh ini hanya boleh memasuki areal Bale Dangin karena ia
masih terikat di Prajapati (setra/kuburan). Ia belum boleh memasuki tempat
suci/parahyangan, dikarenakan roh ini masih leteh/kotor. Dalam tingkatan ini,
roh si mati masih berada di alam bawah atau Bhur Loka. Jika orang meninggal
dunia dan mayatnya sebatas baru diaben (sawa wedana/atiwa-tiwa), roh si mati
disebut Pitara. Kata Pitara itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
dari kata Ptr (baca : Pitri) yang artinya Bapak atau leluhur. Batasannya : roh
ini sudah boleh naik sampai batur Kemulan, tetapi Ia juga belum boleh memasuki
tempat suci (parahyangan) karena masih leteh (kotor). Dalam tingkatan ini rokh
si mati berada di Bwah Loka atau Alam Tengah, kalau nanti sudah dilangsungkan
Upacara Nyekah atau Memukur atau upacara Atma Wedana, serta sudah dilangsungkan
upacara meajar-ajar dan ngelinggihang daksina pengadegan di Kemulan/sanggah
rong telu, maka roh ini disebut Dewa Pitara, yang artinya roh ini sudah suci
karena sudah memasuki alam kedewaan (Swah Loka / alam Atas) atau sidha dewata,
karena itu roh ini disebut dengab Dewa Pitara atau Dewa Hyang Guru atau Batara
Hyang Guru. Pitara di sini bukanlah Dewa, tetapi Pitara/leluhur yang sudah
mencapai alam kedewaan, itulah sebabnya disebut dengan Dewa Pitara atau Dewa
Hyang Guru atau Batara Hyang Guru
ayo bergabung dengan bolavita khusus new member lgsg di berikan 10%
ReplyDeletetanpa ribet dan masih banyak bonus2 lain nya
semua di berikan tanpa ribet pelayanan terbaik 24 jam
depo wd secepat kilat ^^ sabung ayam live
info lbh lanjut :
WA: +628122222995
ayo bagi yg suka maen judi ayam on line sabung ayam pisau
ReplyDeletedi bolavita tempat nya banyak sekali bonus2 menarik
dan game2 on line terlengakap se indonesia
dengan pelayanan 24 jam yg sangat ramah
ayo segera daftar dan buktikan sendiri
info lbh lanjut:
WA: +62812-2222-995