Monday, February 26, 2018

Hindu Bali itu tidaklah persis Hindu India



 
Desa Belimbing. upacara ngaben di banjar dinas Durentaluh

Tidaklah banyak yang tahu bahwasanya istilah Hindu awalnya adalah hanya istilah geografis yang diberikan oleh orang Persia untuk menunjukkan orang-orang yang bermukim di sekitaran Sungai Shindu, bukan nama sebuah agama, lalu istilah ini  diadopsi oleh penjajah barat, sampai akhirnya dipakai oleh masyarakat India sebagai nama agama untuk menghadapi tantangan yang muncul dari Islam dan Kristen. Sejarah yang sama juga terjadi dengan Agama Hindu di Indonesia, khususnya Bali. Pada awalnya kemarin-kemarin hanya mengakui Agama Islam dan Kristen sebagai agama resmi Indonesia, Kementerian Agama Republik Indonesia kala itu (KAGRI) menolak memberikan pengakuan yang sama pada Agama di Bali, namun hanya masuk aliran kepercayaan. Akhirnya, setelah melalui perjuangan panjang dari para tetua dulu pada tahun 1950-an, dan bahkan jauh sebelumnya,  agama di Bali diakui secara resmi di Indonesia sebagai Agama Hindu. Namun untuk mendapatkan pengakuan ini, berbagai penyesuaian dan transformasi kehidupan spiritual Bali perlu dilakukan agar memenuhi kriteria agama sebagaimana ditetapkan berdasarkan standar Agama-agama Samawi. Meski berusaha mengikuti persyaratan KAGRI dan melakukan berbagai proses penyesuaian, namun para tetua terdahulu tetap ingin menjaga karakteristik ke-Bali-annya dan menolak menyamakan Hindu Bali dengan Hindu India. Sebelum diresmikan menjadi Agama Hindu, berbagai nama sempat muncul dalam diskusi antara para Pandita dan para Raja, seperti: Agama Tirtha, Agama Siwa, Agama Siwa-Buddha, Agama Hindu Bali, aneka ciri khas Bali itu ternyata kini mampu membuat para kaum wisman juga wisnu memandang Bali dengan mata yang tiada terkedip serta nggan berpaling. Maka jadilah Bali itu sebagai lautan berlian kebudayaannya NKRI, contoh kongkrit ada prosesi ritual kematian di Bali yang lasim orang bilang ngaben, ya ngaben !

Dalam prosesi ngaben di tanah Bali  itulah ada rentetan acaranya yang disebut ngajum sekah.  Ngajum berasal dari kata ”ajum” (bhs.Bali)  yang berarti ”senang” atau ”bangga”. Dalam mengikuti proses upacara keagamaan Hindu di Bali secara perlahan namun pasti, kata ajum mendapat awalan ”ng” menjadi ”Ngajum”. Jadi Ngajum berarti ; ”memuji” atau ”menyanjung”. Kebiasaan memuji atau menyanjung ini biasanya disampaikan melalui kata-kata. Tetapi dalam konteks upacara Mamukur, maka kata ”mamuji” dilakukan dengan cara mempercantik dan menghias Sekah atau Puspalingga. Sekah merupakan simbolis ”linggih” Sang Pitara yang juga disebut ”Puspalingga”. Puspalingga berasal dari kata ”puspa” dan ”lingga”. Puspa berarti ”bunga”, yaitu sebuah benda yang ditempatkan dalam tempat yang terhormat dan mengandung kesucian. Dan ”lingga” berarti ”linggih” atau ”tempat”. Jadi Puspalingga berarti ; tempat untuk menempatkan sesuatu yang dihormati atau disucikan, yaitu ”sang Pitara”, atau sebagai ”simbol Sang Pitara”. Jadi arti kata Ngajum Sekah dalam hal upacara Nyekah atau Mamukur adalah ; ”Mamuji sang Pitara dengan cara menghias serta mempercantik benda yang dilambangkan sebagai sang Pitara (roh) yang akan diupacarai agar bisa menjadi Dewa Pitara. Dengan rangkaian ritual yang berkelanjutan mulai dari atiwa-tiwa, memukur, meajar-ajar, serta upacara Dewa Pitara Pratista.
 
Desa Belimbing. upacara ngaben di banjar dinas Durentaluh

Desa Belimbing. upacara ngaben di banjar dinas Durentaluh
Sekilas yang dapat dibilang unik pada keyakinan para penganut Hindu di tanah Bali, jika mereka telah meninggal dunia saat ritual penguburan ataupun saat ritual ngaben ada yang dinamakan sekar ura Tahu sekar ura ? Sekar ura ini adalah bentuk upakara yang tediri dari ; beras kuning, pis bolong, daun temen dengan bunga rampainya. Ketika jenazah orang yang meninggal diusung ke kuburan, maka disepanjang perjalanan menuju kuburan (bhs. Balinya Setra/tunon), ditaburkan Sekar Ura, yang bermakna sebagai bahasa perpisahan dalam bentuk upakara. Dimana orang yang meninggal mengharapkan agar keluarga yang ditinggalkan tetap dapat hidup berkecekupan dan bahagia. Orang Hindu di Bali yang meninggal itu tidak semuanya langsung di aben/ dikremasi secara Hindu,  tapi banyak juga yang dikubur lebih dahulu baru setelah tiba saatnya kelak akan di aben. Adapun  tujuan ngaben (Sawa Wedana / Atiwa-tiwa) sesuai keyakinan umat Hindu (baca Hindu Bali) ialah untuk melepaskan Sang Atma dari ikatan Panca Mahabhuta (lima zat unsur ; tanah, api, air, udara serta ether). Sedangkan tujuan dari pada upacara Mamukur (Nyekah/Atma Wedana), adalah untuk mengantarkan sang Atma menuju alam kedewataan atau sidha dewata. Setelah kedua rangkaian upacara ini, masih harus diselenggarakan rangkaian upacara meajar-ajar (berziarah ke tempat-tempat suci), yang dilanjutkan lagi dengan upacara Dewa Pitara Pratista, yakni upacara ngelinggihang Dewa Pitara di Kemulan/sanggah Rong Telu. Kalau roh itu laki-laki, maka daksina pengadeg (perwujudannya) akan di sthanakan di Kamulan kanan, jika roh itu perempuan, maka akan dilinggihkan di kamulan sebelah kiri. Diyakini/diharapkan  roh itu akan menyatu dengan Dewa Hyang-nya dahulu ! Sang Dewa Pitara melayang menuju alam gaib,disana Sang Atma menyatu dengan Dewa Hyang-nya dahulu. Maka setelah selesai Upacara Dewa Pitara Pratistha itu, dan disembah oleh seluruh sanak keluarganya, menjadi sucilah roh itu. Oleh karena itulah Sang Atma itu kemudian disebut ; Dewa Pitara, atau Dewa Hyang Guru/ Bhatara Hyang Guru.
 
rangkaian upacara ngaben itu diantaranya ada meajar-ajar

rangkaian upacara ngaben itu diantaranya ada meajar-ajar
Masih tentang keunikan keyakinan umat Hindu Bali bidang kematian seseorang dimana pada setiap orang yang meninggal itu, diyakini ada yang telah pergi meninggalkan yang namanya badan kasar/jasad, yang telah pergi itulah yang dinamakan roh/atma (bhs.Bali) Jika orang meninggal dunia dan mayatnya sebatas baru ditanam/mependem, roh si mati disebut Preta atau Bhuta. Adapun batasannya ; roh ini hanya boleh memasuki areal Bale Dangin karena ia masih terikat di Prajapati (setra/kuburan). Ia belum boleh memasuki tempat suci/parahyangan, dikarenakan roh ini masih leteh/kotor. Dalam tingkatan ini, roh si mati masih berada di alam bawah atau Bhur Loka. Jika orang meninggal dunia dan mayatnya sebatas baru diaben (sawa wedana/atiwa-tiwa), roh si mati disebut Pitara. Kata Pitara itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari kata Ptr (baca : Pitri) yang artinya Bapak atau leluhur. Batasannya : roh ini sudah boleh naik sampai batur Kemulan, tetapi Ia juga belum boleh memasuki tempat suci (parahyangan) karena masih leteh (kotor). Dalam tingkatan ini rokh si mati berada di Bwah Loka atau Alam Tengah, kalau nanti sudah dilangsungkan Upacara Nyekah atau Memukur atau upacara Atma Wedana, serta sudah dilangsungkan upacara meajar-ajar dan ngelinggihang daksina pengadegan di Kemulan/sanggah rong telu, maka roh ini disebut Dewa Pitara, yang artinya roh ini sudah suci karena sudah memasuki alam kedewaan (Swah Loka / alam Atas) atau sidha dewata, karena itu roh ini disebut dengab Dewa Pitara atau Dewa Hyang Guru atau Batara Hyang Guru. Pitara di sini bukanlah Dewa, tetapi Pitara/leluhur yang sudah mencapai alam kedewaan, itulah sebabnya disebut dengan Dewa Pitara atau Dewa Hyang Guru atau Batara Hyang Guru

2 comments:

  1. ayo bergabung dengan bolavita khusus new member lgsg di berikan 10%
    tanpa ribet dan masih banyak bonus2 lain nya
    semua di berikan tanpa ribet pelayanan terbaik 24 jam
    depo wd secepat kilat ^^ sabung ayam live

    info lbh lanjut :
    WA: +628122222995

    ReplyDelete
  2. ayo bagi yg suka maen judi ayam on line sabung ayam pisau
    di bolavita tempat nya banyak sekali bonus2 menarik
    dan game2 on line terlengakap se indonesia
    dengan pelayanan 24 jam yg sangat ramah

    ayo segera daftar dan buktikan sendiri
    info lbh lanjut:

    WA: +62812-2222-995

    ReplyDelete

Baca juga yang ini