Wednesday, July 19, 2017

Di Kelungkung, dinamakan nyaagang




Lain ladang lain belalangnya, len abian len balangne atau atau ada juga yang bilang lain lubuk lain ikannya. Sebutannya beda tapi jenis kegiatan serta makna ataupun tujuannya sama, demikianlah yang acap terjadi di nusa kecil Bali dilakoni oleh warga pribumi tanah Bali yang mayoritas sebagai penganut agama tertua Hindu. Inilah jua salah satu sebab tanah Bali itu dinamakan Maja Pahit Yang Terakhir, karena hanya di tanah Bali segala sesuatu yang dahulu pernah terlakoni dengan apik di Maja Pahit  dapat lestari hingga era era modernasi ini, contoh kerukunan antar sesama dan ketaqwaannya  kepada Sang Pencipta serta budayanya serupa.

persembahan kepada para leluhur

Dari sejak nguni kepercayaan akan Tuhan dan diejawantahkan dengan sesajen dimana sesajen atau banten itu merupakan salah satu bentuk/jenis kebudayaan nan agung relegius ada di era Maja Pahit dan juga di tanah Bali. Dengan serana upakara, menghormati Sang Pencipta dan juga leluhur selanjutnya di carikan/ditentukan hari hari yang tepat untuk melaksanakan aneka puja kesyukuran kepadaNya. Maka di tentukanlah/disepakatilah hari hari yang baik itu sebagai hari-hari suci yang lumrah dikatakan sebagai rerainan, misalnya  Galungan (Rabu Kliwon Dungulan), Kuningan/Tumpek Kuningan  (Sabtu Kliwon Kuningan). Kedua rerainan ini sejatinya inti pokoknya adalah berupa hari nan tepat mengungkapkan rasa syukur dan rasa bakti kepada para leluhur.

Para umat sedharma dimanapun berada tahu persis kalau perayaan Hari Raya Galungan itu dapat dilaksanakan dalam waktu hampir seharian (satu hari penuh / bahkan kala malam hari), lain halnya dengan Hari Raya Kuningan yang dibatasi waktu hanya hingga tengah hari ( sebelum jam 12 siang waktu setempat). Keyakinan para penganut Hindu kala wuku Dungulan, para leluhur berada di bumi (mendampingi para keturunannya) dalam waktu seminggu penuh. Baru pada saat hari yang dinamakan ulian (Sabtu Dungulan) malam harinya, para leluhur meninggalkan keluarganya kembali ke tempat dimana mereka dapat tempat sesuai amal perbuatannya (karmanya). Dan pada rerainan jagat berikutnya (Tumpek Kuningan) para leluhur diyakini turun kembali ke dunia hanya dalam waktu singkat (setengah hari saja), untuk memberikan anugrah kemakmuran serta berkah, atas penghormatan para keturunannya di saat Hari Raya Galungan. Sebagai ungkapan terima kasih kita atas anungrah para leluhur kitapun menghaturkan banten (sesajen) yang berisi nasi kuning, bahkan di beberapa tempat di Bali para leluhur diantar hingga ke depan pintu halaman agar para leluhur gembira ke alam nirwana. Contohnya  di  Kelungkung, ada tradisi nyaagang lewat tradisi yang satu ini para umat Hindu di kabupaten Kelungkung menjelang tengah hari/tajeg surya (bhs.Bali) secara serentak menghaturkan sesajen di depan pintu masuk pekarangan . Mereka meyakini tradisi nyaagang ini sebagai wujud bakti demi mengantar para roh leluhur ke nirwana (suargan). Tidak hanya sesajen yang mereka gelar di depan rumah, warga juga ikut makan bersama. Dengan mereka makan bersama artinya mereka dalam keadaan rukun, diyakini para leluhur menyaksikan keturunannya rukun maka iklaslah mereka menuju nirwana (suargan).

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini