Saturday, August 20, 2016

Demi tugas Grehasta





Oh istriku, aku telah memegang tanganmu demi kebahagiaan  dan kuberjanji  tidak akan melakukan sesuatu perbuatan yang tidak menyenangkanmu. Bersamaku engkau akan hidup selamanya, karena Tuhan Yang Maha Kaya memberikan pahala sesuai dengan  karma kita, serta Dewa Sawita  sebagai pelindung seluruh dunia adalah saksi  dalam pernikahan kita. Untuk itu kau kusunting demi menjalankan tugas grehasta, dan para pemuka menjadi saksi dalam pernikahan kita.




Para umat Hindu di dunia ini menamai masa berumah tangga itu dengan sebutan Grehasta Asrama, masa untuk menunaikan tugasNya demi kelangsungan suatu generasi (keturunan), maka pernikahanlah yang ditempuh. Pernikahan itu bukanlah suatu kontrak antara suami istri namun lebih berupa sebuah tugas mulia demi meneruskan generasi dan mencapai kebahagiaan sesuai ajaran agama paling tidak menuju kearah kebaikan walau tidak moksa, dan tanpa kehadiran seorang istri semua yadnya/korban suci akan tidak sempurna.  Karena itulah sebuah acara pernikahan oleh penganut Hindu (baca Hindu Bali) dicarikan hari baik  untuk melangsungkannya yang keloktah terkenal dengan patokan wariga / warah ring raga yakni petunjuk bagi kita. Wariga itu  pada intinya berupa perhitungan baku menuruti rambu-rambu tertentu untuk menentukan baik buruknya suatu hari, untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan yang penting sesuai keyakinan (kemantapan pikiran). Misal riilnya, jika hendak mencari hari baik untuk sebuah pekerjaan penting contohnya melakukan manusa yadnya, pitra yadnya, atau Dewa Yadnya setidaknya berpedoman yang namanya baik buruknya hari, paling awal yang namanya nama-nama hari/wewaran beserta neptu/uripnya  kita wajib tahu. 
foto by  medsos FB

Khusus saat baik melangsungkan pernikahan, kalau di nusa kecil Bali yang terkenal berbudaya tinggi sampai-sampai termuat pada nyanyian masyarakat Bali diantaranya memakai pupuh sinom. “Tis pageh mekurenan, Astiti bakti ring laki, Pada ya meidep darma, Satia mangucap ring laki, Ring sasih kelima mangkin, Melah tan kirangan sangu, Sami adung kapitresnan, Nyama braya pada asih, Lunas lanus, Pegawene magenekan “.  Demi langgengnya sebuah pernikahan bagi umat Hindu khususnya di Bali, lasim menghindari saat-saat yang dinamakan wuku rangda tiga, yakni saat wuku : Wariga, Warigadian, Pujut, Pahang/Paang, Menahil/Menail, dan Perangbakat. Jika memakai wuku-wuku itu melangsungkan pernikahan (wiwaha) diyakini berakibat kurang baik, misalnya besar kemungkinan menjadi janda/duda. Disisi lainnya, suatu kesempatan yang disebut panglong ( hari-hari setelah bulan penuh/purnama) lumrahnya juga dihindari untuk acara pernikahan yang latah diyakini yakni berakibat buruk ( selamanya hidup sengsara, kesakitan, kemeranan dll.) Pada intinya suatu hari itu dianggap baik jika yang namanya sasih memungkinkan (lampu hijau), riil untuk nikah/wiwaha :  Kapat (banyak harta dan sahabat), Kelima (banyak rejeki), Kepitu ( selamat),  dan Kedasa (hidup rukun berbahagia).

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini